Sunday 1 May 2016

ILMU SEBAGAI OBJEK KAJAIAN FILSAFAT



  1. ILMU SEBAGAI OBJEK KAJAIAN FILSAFAT
Pada dasarnya setiap ilmu memiliku dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sarana pendidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat sebagai berfikir yang sistimatis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada.
Segala yang ada mencakup ada yang tampak ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun, objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat ada objek empiris . disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat kaeran awalnya filsafatllah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara sistematis, rasional, dan logis termasuk yang empiris. Setelah berjalan beberapa lama kajian terkait dengan hal yang empiris semankin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah terbentuknya ilmu secara berkesinambungan.
Will Durant mengibaratkan filsafat sebagai pasukan mariner yang merebut pantai untuk pendaran pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmu berkembang sesuai dengan spesialis masing-masing, sehingga ilmulah secara praktis membelah gunung dan merambah hutan. Setelah itu, filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.
Karena itu filsafat oleh para filosof disebut sebagai induk ilmu. Sebab, dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer bekembang. Sehingga manusia dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya, yaitu teknologi. Awalnya, filsafat terbagi pada teoritis dan praktis. Filsafat teoritis mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hokum, dan etika. Setiap bidang ilmu ini kemudian berkembang dan menspesialisasi, seperti fisika berkembang menjadi biologi, biologi berkembang menjadi anatomi, kedokteran, dan kedokteranpun terspesialisasi menjadi beberapa bagian. Perkembangan ini dapat diibaratkan sebuah pohon dengan cabang dan ranting yang semakin lama semakin rindang.
Bahkan dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendir, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf penilaian ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Cotohnya, filsafat ilmu, filsafat hukum, dan ilum adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkontak dalam satu bidang tertentu. Filsafat ilmu yang sedang dibahas ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari tuntutan tersebut karena filsafat tidak dapat hanya berada pada laut lepas, tetapi diharuskan juga dapat membimbing ilmu. Disisi lain, perkembangan ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga mendorong munculnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain. Tugas filsafat diantaraya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangan relevan untuk dikaji dan didalami.
Ilmu sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati melalui pendekatan radikal, menyeleruh, dan rasional. Begitu juga dengan pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu dilihat dari posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.
  1. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
  2. Filsafat dan Hikah
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu; philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa yunani; philosophia, dengan terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau phillia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (‘hikmah’, kebijaksanaan, intelegensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Harun Nasution berpendapat bahwa istilah filsafat berasal dari bahasa Arab Karena orang Arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat. Buku-buku mengenai ‘filsafat’ ditulis dengan falsafat, seperti Falsafah Agama dan Falsafah dan Mistisisme dalam Islam.
Kendati istilah filsafah yang lebih tepat adalah falsafah yang berasal dari bahasa Arab. Kata falsafah sebenarnya bisa diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang di Indonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalny, seperti Masjid menjadi Mesjid dan Karamah menjadi Keramat. Karena itu, perubahan huruf a menjadi huruf I dalam kata falasafah bisa ditolerir. Lagi pula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyeledikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
  1. Upaya spekulasi untuk menyajikan suatu pandangan sistematik seta lengkap tentang realitas.
  2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhit dan dasar serta nyata.
  3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
  4. Penyeldikan kritis atas pengadaian-pengadaian dan penyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
  5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakana dan untuk mengatakan apa yang Anda lihat.
Pengertian filsafat secara terminology sangat beragam baik dalam ungkapan maunpun dalam titik tekanannya. Bahkan, Moh. Hatta dan Langeveld bahwa defenisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam defenisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian menyimpulkan sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, sebab intisari berfilsafat itu sendiri terdapat dalam pembahasan bukan pada defenisi. Namun, defenisi filsafat untuk dijadikan patoakan awal diperlukan untuk member arah dan cakupan objek yang dibahas, terutama yang terkait dengan filsafat ilmu. Karena itu, disini dikemukakan beberapa defenisi dari para filosof terkemuka yang culup refrensentatif , baik dari segi zaman maupun kualitas pemikiran.
Phytagoras (572-492 SM) adalah filosof yang pertama kali menggunakan kata filsafat, dia mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi kedalam tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan. Shopia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan, yatiu:
1. Kerajinan,
2. Kebenaran Pertama,
3. Pengetahuan yang luas,
4. Kebijakan Intelektual,
5. Pertimbangan yang sehat dan
6. Kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis.
Dengan demikian asal mula filsafat itu sangant umum, yaitu intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).
Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa objek filsafat adalam penemuan kenyataan atau kebenaran absolute (keduanya sama dengan pandangannya), lewat “dialektika”. Sementara Aristoteles (384-332 SM), tokoh utama filosof klasik, mengatakan bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari wujud. Karena itu, ia menamakan filsafat dengan “teologi” atau “filsafat pertama”. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam ini digerkkan oleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan suatu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian Aristoteles, sebagai penggerak. Pertama adalah Aktus Murni. Dan ia adalah salah seorang filosof Yunani kuno yang mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontology).
Al-Farabi (W. 950 M), berpendapat bahwa filsafat atau hikamah merupakan pengetahuan “otonom” yang perlu dikaji oleh manusia kerena dia dikaruniai akal. Alquran Filsafat mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat keimanan kepada tuhan.
Immanuel Kant (1724-1804 M), mengatakan bahwa filsafat itu ilmu dasar segala pengetahuan, yang mencakup didalamnya empat persoalan, yaitu:
  1. Apakah yang dapat kita ketahui? (Dijawab oleh metafisika)
  2. Apakah yang boleh kita kerjakan? (Dijawab oleh etika/ norma)
  3. Sampai manakan pengharapan kita? (Dijawab oleh Agama)
  4. Apakah yang dinamakan manusia? (Dijawab oleh Antropologi)



*Ayo bantu Channel Youtube admin dengan menSUBSCRIBE kalian bisa klik DISINI.
1 SUBSCRIBE dari kalian sangat berarti bagi admin, sekali lagi TERIMA KASIH  sudah mampir dan support admin, enjoy reading guys.




Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berfikir dengan insaf. Yang dimaksud dengan insaf adalah berpikir dengan teliti, menurut aturan yang pasti. Sementara itu Deng Fung Yu Lan, seorang filosof dari dunia Timur, mendefenisikan filsafat adalah fikiran yang sistimatis dan refleksi tentang hidup.
Filsafat juga didefenisikan oleh H. Hamersama sebagai pengetahuan metodiis, sistematis, dan koheren (bertalian) tentang seluruh kenyataan. Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada trades, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai kedasar-dasar persoalan.
Dalam pandangan Sidi Gazalba fislafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran. Inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga pokok dalam filsafat, yaitu:
  1. Adanya unsure berpikir yang dalam hal ini menggunakan akal.
  2. Adanya unsure tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tetsebut.
  3. Adanya unsure ciri tang teredapat dalam pikiran tersebut, yaitu mendalam.
Uraian diatas menunjukkan dengan jelas ciri dan karakteristik berpikir secara filosofis. Intinya adalah upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sehingga alat utamanya untuk menemukan hakikat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu.
Telah disebut diatas bahwa saah satu makan filsafat adalah mengutamakan dan mencintai hikmah. Fuad Irfami al Bustami mengartikan hikmah dalam kitab monumetalnya Munjis al-Thullab, secara etimologi yaitu al—“adl (memposisikan sesuatu pada porosnya), al- hilm (akal/ balqh/ pemikiran yang sempurna), al- falsafah (filsafat), dan secara bertimologi.
Ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan kebenaran suatu pendapat yang valid.
Ibnu Mundzir, penulis kamus standar dalam bahasa Arab. Lisan al- Arabi, menjelaskan bahwa istulah hikmah berarti terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan manfaat.
Lain halnya dengan al- Jurani dalam mendefenisikan kata hikmah adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Ibn Sina mengartikan kata hikamh dalam al-Thabi’iyyat adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teorik manupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.
Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigm keilmuan yang mempunyai tiga unsur utama, yaitu: 1) Masalah, 2) Fakta dan data, 3) Analisis Ilmuwan dengan teori. Al-Syaybani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta kepada hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian kepadanya dan mencari sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hikmah sesuatu , berusahan mendapatkan sebab dan akibat serta berusaha menginterprestasikan pengalaman-pengalaman manusia.
  1. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ilan, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar seperti ungkapan “Asmu’I telah memahami pelajaran filsafat”. Dalam bahasa Inggris disebut science,; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan)- scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangka gejala-gejala tertentu, di bidang (pengetahuan) ini. Mulyadi Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang nonfisik seperti metafisika.
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminology antara lain adalah:
  1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistimatis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan pada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
  2. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (alam objek) yang sama berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip objek dan hubungannya yang tercemin dalam kaitan-kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis objek menyingkapakan dirinya sendiri kepada kita dalam produsen ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berfikir.
  3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat didalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
  4. Di pihak lain, yang sering kali berkaitan dengan konsep ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka pada semua pencari ilmu. Kendati demikian baik untuk tidak memasukkan persyaratan dalam defenisi ilmu. Karena objektifitas ilmu dan kesamaan hakiki daya persyaratakn ini pada umumnya terjamin.
  5. Ciri hakiki lainnya dari ilmu adalah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide-ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menurut pengamatan dan berpikir metodis, ternyata rapi. Alat bantu metodologis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep lain.
  6. Kesatuan setiap ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya. Teori skolastik mengenai ilmu membuat perbedaan antara objek material dan objek formal. Yang terdahulu adalah objek kongret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau sudut pandang terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya, sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu yang lain. Pembagian objek studi mengajar mengantar ke spesialisasi ilmu yang terus bertambah. Gerakan ini diiringi bahaya pandangan sempit atau bidang penelitian yang terbatas. Sementara penangkapan yang luas terhadap saling keterkaitan seluruh realitas lenyap dari pandangan.
Adapun beberapa defenisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
–          Mohammad Hatta, mendefenisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
–          Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum, dan sistimatikm dan keempatnya serentak.
–          Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang konfrehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
–          Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
–          Harsojo, Guru Besar Antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
  1. Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan.
  2. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terkait oleh factor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
  3. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “Jika…, maka…,”.
–          Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefenisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tetang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannyan diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli tentang ilmu diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistemati, rasional, empiris, universal, obkjektif, dapat diatur, terbuka, dan komulatif (bersusun timbun). Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingakan dengan yang empiris. Karena itu, dia mamasukka teologi adalah ilmu, yang sama dengan ilmu-ilmiu yang lainnya.
Adapun perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan, ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi,tersistem, dan terukur serta dapat dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisika maupun fisik.
Dapat juga dikaitkan pengetahuan adalah infoirmasi yang berupa common sence, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan ditempat lain yang belum tersusun dengan baik.
Setelah dipahami pengertian filsafat, ilmu, dan pengetahuan, maka dapat disimpulkan filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan berikut ini:
  1. Pertnyaan landasan ontologis:
Objek apa yang ditelaah? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti, berpikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dan landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
  1. Pertanyaan landasan epistemologis
Bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kreterianya? Cara/ teknik/ sarana apa yang membantu kita mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
  1. Pertanyaan landasan aksiologis
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaiamana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaiamana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaiaman korelasi antara teknik procedural merupakan operasionalisasi metode ilmiah sengan norma-norma moral?
  1. Persamaan dan Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut:
  1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
  2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
  3. Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
  4. Keduanya mempunyai metode dan sistem.
  5. Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Adapun perbedaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut :
  1. Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkont-kontak, sedangkan kajian filsafat tidak terkontak-kontak dalam disiplin tertentu.
  2. Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat nonfragmentaris, kerena mencari segala sesuatu yang ada secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentarism spesifik, dan intensif. Di samping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
  3. Filsafat dilakasanakan dalam suatu susunan pengetahuan yang menonjol daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai-nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
  4. Filsafat memuat lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskrusif, yatitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tau menjadi tahu.
  5. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak mendalam, yang lebih dekat, yang skunder (skunder cause).

  1. TUJUAN FILSAFAT ILMU
Tujuan filsfat ilmu adalah:
  1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
  2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehigga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
  3. Menjadi pedoaman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah.
  4. Mendorong para calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya.
  5. Mempertegas dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.

  1. PEMBAHASAN
Berdasar dari isi bab I yang berisi tentang Ruang Linkgup Ilmu dari buku Filsafat Ilmu yang ditulis oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A tersebut di atas, maka dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang bagaimana ruang lingkup fisafat ilmu secara umum. Hal yang menjadi pembahasan sebagai tanggapan terhadap isi bab di atas menyangkut :
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat IlmuI, yang disusun oleh Ismaun (2001)
  1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau telah dibuktikan atau dalam kerangka kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
  2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
  3. A.Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
  4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
  5. May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
  6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
  7. Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
  1. Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
  2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
  3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
  1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu : sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
 Objek Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu lainnya juga memiliki dua macam objek yaitu objek material dan objek formal.
1.         Objek Material Filsafat ilmu
Objek Material filsafat ilmu yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan atau hal yang di selidiki, di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak.
Menurut Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a)     Ada yang bersifat umum, yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
b)     Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia dan alam.
2.         Objek Formal Filsafat Ilmu
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan yang artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatiannya terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan. Seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.

  1. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi
  1. Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
  • Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
  • Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
  • Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
  • Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
  • Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatic
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatic
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
  1. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.



*Ayo bantu Channel Youtube admin dengan menSUBSCRIBE kalian bisa klik DISINI.

1 SUBSCRIBE dari kalian sangat berarti bagi admin, sekali lagi TERIMA KASIH  sudah mampir dan support admin, enjoy reading guys.



  1. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
  1. Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
  2. Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
  3. Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung PS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Metafisika (Bahasa Yunani:  (meta) = “setelah atau dibalik”,  (phusika) = "hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3] 
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak.

No comments: